Jumat, 28 Oktober 2016

Coder Camp

Selama 4 hari IndieSchool memberi kesempatan kepada putra-putri mengikuti proses belajar membuat game Android. Kegiatan ini dinamakan Coder Camp Expess.

Kegiatan Coder Camp  merupakan kegiatan “camp belajar” dengan materi kegiatan yang dipadatkan selama 4 hari. Setiap hari anak-anak belajar mulai pukul 08-12, tentu saja diselingi istirahat snack dan makan siang.

Kegiatan ini bersifat praktis. Jadi teorinya tidak banyak. Anak-anak mendapatkan penjelasan dan kemudian langsung mempraktekkan dalam bentuk proyek. Setiap hari ada proyek yang harus mereka kerjakan dan di akhir hari kegiatan diakhiri dengan presentasi.

Sistem belajar IndieSchool dilakukan dalam bentuk tim. Anak-anak dibagi menjadi 3 peran: manajer, desainer, dan programmer. Jadi, sebenarnya mereka tak hanya belajar coding tapi mengelola proses membuat game. Mereka belajar tentang mindset (cara berfikir) seorang developer aplikasi Android: apa masalah yang ada, apa yang ingin diselesaikan, bagaimana desain fungsi dan grafis aplikasi mereka hingga akhirnya menjadi aplikasi Android. Setelah presentasi di akhir hari, anak-anak saling memberikan feedback berupa tanda bintang kepada teman-temannya dalam hal: git (kegigihan), leadership, social emotion, dan kreativitas.

Hasil dari IndieSchool Coder Camp


Hari terakhir dari kegiatan IndieSchool Coder Camp, orangtua diminta datang melihat presentasi dan hasil karya final anak-anak.

Aplikasi ini sudah diunggah di Google App Store dan bisa diunduh. Dari sisi hasil, kualitasnya masih sederhana. Jangan bandingkan kualitas hasil anak-anak yang baru belajar tiga hari dengan para developer dewasa yang memang pekerjaannya di dunia game.


Kita memang tidak pernah tahu apa yang menginspirasi dan berpengaruh bagi kehidupan anak-anak kita. Bagi kami, tugas terpenting sebagai orangtua adalah menyemai benih dan mengekspos anak-anak dengan beragam kegiatan berkualitas. Juga, membangun sikap mental dan budaya kerja yang positif untuk kehidupan mereka. Untuk itu, kami berkomitmen untuk melakukan sebaik-baiknya.


Tentang IndieSchool

Kegiatan Coder Camp ini diselenggarakan oleh IndieSchool Studio, sebuah kursus pemrograman komputer untuk anak-anak yang mencoba melakukan pendekatan berbeda dari kursus biasa. Kalau kursus biasanya fokus untuk membangun keterampilan coding, IndieSchool juga berusaha membangun keterampilan di luar coding seperti problem solving, team management, dan project management.

Kurikulum yang dipakai di IndieSchool menggunakan metode pengajaran Self-Organized Learning Environment (SOLE) yang mengedepankan rasa ingin tahu anak-anak, serta pengembangan karakter melalui team work.

IndieSchool Studio didirikan oleh Fajar Baskoro seorang praktisi komputer dan juga Dosen Teknik Informatika ITS Surabaya. Selain mengajarkan coding pembuatan Game, IndieSchool juga menyelenggarakan kegiatan belajar pembuatan film animasi kartun. Kegiatan ini diselanggarakan rutin setiap hari Sabtu dan juga pada masa liburan sekolah.

Seperti yang disampaikan oleh pendirinya IndieSchool fokus kepada pengembangan bakat digital anak-anak. Merupakan usaha mengubah mindset anak sebagai pengkonsumsi game dan film kartun menjadi produser atau pembuat game dan film kartun. Sebagai usaha pengenalan teknologi semenjak dini dengan cara yang tepat.


Digital Parenting

Era digital saat ini mengharuskan orang tua menyesuaikan cara mendidik anak agar lebih bisa diterima mereka. Hal lain yang perlu diantisipasi orang tua ialah melindungi anak dari pengaruh buruk gadget. Berikut ini panduan mendidik anak di era digital dari Psikolog Elisabeth Santosa (Lizzie) yang juga menulis buku berjudul “Raising Children in Digital Era”.

Batasi penggunaan gadget oleh anak
Jangan biarkan anak menggunakan gadget hingga berjam-jam lamanya, berilah batasan waktu.

“Saya bukan termasuk orang yang anti dalam memberikan gadget untuk anak. Tapi membatasi anak adalah cara yang bijak agar seimbang. Jangan berikan dia waktu berjam-jam hanya untuk bermain game saja,” papar Lizzie usai peluncuran buku perdana karyanya di kawasan Matraman, Jakarta, dilansir antara.

Dorong anak melakukan aktivitas motorik lainnya bukan hanya memperhatikan gadget yang cendrung aktivitas pasif.
Menurut Lizzie, orang tua harus selangkah lebih maju daripada anak bila membolehkan anak menggunakan gadget.

Lizzie menilai, anak boleh bermain gadget tetapi harus tetap didorong untuk melakukan aktivitas lainnya yang lebih prioritas, seperti bermain boneka, membaca, mengerjakan pekerjaan rumah, makan, mandi dan aktivitas yang melibatkan gerakan tubuh yang aktif.

“Anak harus diingatkan tanggung jawab prioritasnya agar dapat menstimulasi tumbuh kembangnya, tidak hanya pasif lewat gadget saja,” jelasnya.

Orang tua perlu selektif memilihkan media atau tayangan yang tepat dan aman bagi anak
Kehadiran multimedia di era kini seperti teknologi televisi, musik, media sosial dan internet sulit dihindari oleh anak-anak. Hal yang penting bagi orang tua adalah memilihkan mana yang sesuai dengan umur mereka.

“Ortu harus tegas memberi aturan main anak yang belum cukup usia. Anak perlu dimonitor misalnya boleh mengakses situs berbagai video yang sesuai umurnya misalnya lewat kanal Youtube Kids (Youtube untuk anak-anak) yang ada parental control atau filter tayangan yang sesuai umur mereka,” terangnya.

Orang tua perlu memonitoring lingkungan baik di dunia maya maupun di sekitarnya
Situs berbau pornografi, menurut Lizzie, juga menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak karena materinya dapat memicu kecanduan negatif bagi mereka.

“Situs porno justru kini dapat menghampiri mereka misalnya dapat broadcast pesan BBM dari temannya. Adiktif terhadap pornografi bagi anak di usia dini dapat mengganggu pertumbuhan seksualnya untuk jangka waktu yang lama,” tambahnya.

Karena itu, Lizzie menyarankan agar orang tua tetap memonitor anaknya dengan menjadi teman di media sosial. Contohnya menjadi teman di Facebook, BBM, WhatsApp atau media sosial lainnya.

“Kalau tidak begitu, misalnya mereka di Facebook berteman dengan orang aneh atau penjahat seksual tentu berbahaya jika kita tidak menjadi teman di media sosial,” katanya.

Di masa kini mendidik anak memang menjadi tantangan besar karena mengasuh anak tidak hanya datang dari dunia nyata, tapi juga dunia maya.

“Tidak ada kata terlambat bagi orang tua yang kini sudah telanjur tertinggal oleh anak di zaman modern ini. Orang tua tidak terlambat untuk belajar agar dapat memonitor anak yang telanjur kecanduan gadget,” ucapnya.






Fenomena Game

Sudah cukup sering industri game dijadikan kambing hitam terjadinya beragam aksi negatif yang melibatkan anak-anak. Bahkan aksi begal yang belum lama ini marak di berbagai pemberitaan juga sempat disinyalir sebagai salah satu efek buruk game.

Padahal dengan pengaturan waktu bermain serta pengawasan yang tepat, ada sejumlah keuntungan yang justru akan didapat anak Anda dari bermain video game.  Berikut adalah 10 manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas bermain video games :

1. Aktivitas Fisik
Ada banyak video game di pasaran yang dalam pengoperasiannya memerlukan beberapa jenis aktivitas fisik. Apakah itu menari atau bermain gitar. Di sinilah dibutuhkan kecerdikan orang tua untuk memiliki jenis game untuk anak-anak mereka, yang dapat memaksa mereka (anak-anak) untuk bergerak ketimbang harus duduk di sofa sepanjang hari.

2. Kebugaran dan Gizi
Banyak game yang menggabungkan unsur kebugaran, gizi dan hidup sehat sebagai tujuan utama permainan. Bahkan tidak sedikit  game yang menyajikan tujuan utama permainan mereka pada kebugaran fisik, yang bertujuan mendorong para pemain untuk menurunkan berat badan untuk mempertahankan gaya hidup sehat.

3. Koordinasi mata dan tangan
Bermain video game sebenarnya dapat meningkatkan ketangkasan anak Anda, yang sangat berguna untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebenarnya banyak jenis olahraga yang dapat dilakukan untuk meningkatkan koordinasi antara tangan dan mata, tetapi hal itu kurang menarik keinginan anak-anak untuk mencobanya.

4. Keterampilan sosial
Kurangnya keterampilan sosial dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain secara teratur dapat merusak perkembangan anak dan bahkan menyebabkan depresi. Anak-anak yang pemalu dan kurang percaya diri ketika bersosialisasi dengan teman mereka mungkin akan lebih mudah membuka diri saat bermain video game. Dengan bermain game online, anak-anak dapat berinteraksi dengan banyak orang, bahkan orang yang tidak mereka kenal.

5. Peningkatan kemampuan belajar
Kompleksitas games memberikan anak Anda kesempatan untuk meningkatkan keterampilan kognitif seperti memecahkan masalah dan membuat keputusan. Video game telah berkembang ke titik di mana penggunanya harus mengambil kendali dan berpikir sendiri. Bahkan banyak permainan yang mendorong anak untuk menjadi sabar dan kreativ dalam memecahkan sebuah teka-teki sebelum mereka dapat maju ke tahap berikutnya.

6. Sportivitas dan adil
Sportivitas dan adil (fair play) adalah nilai-nilai yang umum dikembangkan dalam olahraga dan organisasi. Game secara tidak langsung menawarkan Anak Anda nilai-nilai ini, terutama saat bersaing satu sama lain.

7. Mengurangi stres
Stres tidak hanya dialami oleh orang tua tetapi juga anak-anak. Beberapa orang tua terkadang menaruh harapan dan tuntutan yang sebenarnya anak-anak mereka tidak suka, misalnya terkait hobi dan belajar. Bermain game dapat menjadi jalan keluar bagi anak Anda lepas dari tekanan untuk mengurangi tingkat stres.

8. Kerja tim
Kerjasama dan kebutuhan untuk membangun team work kuat pengaruhnya saat anak bermain video game. Beberapa game online misalnya, yang membutuhkan sebuah kerjasama tim untuk mencapai kemenangan.

9. Mengatasi rasa sakit
Bermain video game bisa menjadi sarana untuk mengatasi rasa sakit fisik atau emosional,  misalnya, pada orang yang sedang menderita suatu penyakit di mana hanya dapat melakukan aktivitas di kamar tidur.

10. Membuat orang senang
Salah satu efek terbesar dari bermain game adalah membuat orang bahagia. Namun, sangat penting untuk membatasi waktu bermain game, karena ada kemungkinan bahwa alat ini membuat Anda menjadi kecanduan. Biarkan anak-anak Anda untuk bermain game sesering mungkin, tapi jangan lupa mengingatkan mereka untuk berhenti. Pastikan pula anak Anda tetap melakukan aktivitas di lingkungan sosial.



Digital Addiction

Saat kemajuan teknologi begitu pesat dalam perkembangannya, interaksi antarmanusia pun mengalami perubahan signifikan. Saat ini, jarang sekali kita dengar orang-orang yang saling berbalas surat untuk saling bertegur sapa, mengirimkan kartu ucapan, atau telegram indah pada masa-masa semacam hari raya. Banyak yang lebih menyukai bertegur sapa melalui media sosial, entah Facebook, Path, Twitter, ataupun komunikasi online semisal Whatsapp, Blackberry Messanger, LINE, Telegram, dan lain-lain. Lebih simpel dan murah, begitu alasannya. Pun dengan aplikasi-aplikasi belanja yang semakin menjamur. Tak perlu lagi kita repot-repot untuk berpeluh di pasar, atau jauh-jauh ke Glodok, Roxy, untuk sekedar mencari barang-barang elektronik, semua tersedia, tinggal klik, bayar, dan barang pun sampai rumah.

Tak dipungkiri, kemajuan teknologi ini membawa berbagai dampak yang positif. Dampak-dampak itu di antaranya adalah semangat wirausaha secara online, menjalin komunikasi dengan sanak-saudara yang jarang ditemui karena faktor jarak yang jauh, dan lain sebagainya. Di samping itu, banyak hal-hal yang patut untuk diwaspadai terkait era digital ini sebagaimana hal lain di dunia yang selalu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Efek samping atau dampak negatif yang mengintai antara lain adalah kecanduan. Ya, kecanduan! Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan berita mengenai aplikasi suara yang katanya adalah narkoba, berbahaya, bikin nyandu, dan seabrek berita lainnya.

Ketika kita berbicara mengenai kecanduan di era digital, kita tak hanya berbicara mengenai digital drugs seperti berita yang heboh tadi. Lebih luas lagi, kecanduan di era ini meliputi kecanduan game, kecanduan pornografi, kecanduan judi, kecanduan belanja, kecanduan kencan online, yang terangkum dalam satu bentuk kecanduan: kecanduan internet. Hal-hal ini kemudian semakin terfasilitasi dengan perangkat-perangkat digital yang semakin mudah diakses, smartphone, tablet, dan laptop.

Berdasarkan data dari Young’s Center for Internet Addiction, satu dari delapan orang Amerika mengalami masalah penggunaan internet. Di Tiongkok, Taiwan, dan Korea, angka tersebut lebih tinggi, yaitu 30% dari populasi. Para remaja dan dewasa muda di bawah 25 tahun merupakan kelompok yang rentan mengalami hal ini, disebabkan dunia digital merupakan dari budaya generasi mereka saat ini.

Survei nasional yang dilakukan oleh Center for Internet Addicition di Amerika juga menemukan fakta bahwa penderita kecanduan internet juga mengalami komorbiditas dengan gangguan lain. Sebanyak 70% pecandu internet juga mengalami kecanduan narkoba, alkohol, rokok, dan seks. Sementara itu, mayoritas pecandu internet juga mengalami gangguan emosional seperti depresi, gangguan mood, gangguan secara sosial, dan gangguan cemas.

Aspek Neurobiologi Kecanduan Digital

Meskipun internet addiction belum tercantum dalam DSM–5 sebagai sebuah gangguan (di dalam DSM–5, appendiksnya hanya mencantumkan internet gaming disorder sebagai sebuah gangguan yang memerlukan penelitian lebih lanjut), para ahli nampaknya mulai menyadari urgensi meneliti fenomena kecanduan digital. Fenomena yang dimaksud khususnya adalah kecanduan akan internet dan game yang terjadi terutama pada usia remaja dan dewasa muda.

Frances E. Jensen, MD, seorang profesor neurologi dari Departemen Neurologi, Perelman School of Medicine, Universitas Pennsylvania, USA, menulis dalam bukunya, “The Teenage Brain”, mengenai fenomena invasi digital pada remaja. Jensen mengatakan bahwa kompulsivitas untuk selalu terkoneksi secara digital terjadi dalam dua level, yaitu perilaku dan biokimia. Setiap bunyi, ping, atau getar dari smartphone merupakan momen “Oh, Wow” di dalam otak. Selanjutnya, setiap pesan maupun pating baru di media sosial yang dibuka dan dibaca digambarkan sebagai “digital gift” yang memicu pengeluaran dopamine secara cepat di otak.

Hal di atas tentu saja serupa dengan proses pada kecanduan narkoba. Studi dengan fMRI (functional MRI) pada pecandu internet menemukan pola yang sama dengan pola-pola pecandu narkoba. Begitu juga dengan sebuah studi di Tiongkok pada tahun 2012 yang membandingkan hasil scanning otak dengan fMRI antara 17 remaja yang memenuhi kriteria kecanduan game dengan 24 remaja yang tidak mengalami kecanduan game dengan jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan yang sama. Studi tersebut menemukan bahwa remaja dengan kecanduan game mempunyai skor Risk Taking Test yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak kecanduan game. Melalui fMRI, terlihat bahwa remaja yang mengalami kecanduan mempunyai lebih sedikit konektivitas pada lobus frontal-nya dan mempunyai konektivitas yang lebih banyak pada area yang sama dengan pecandu nikotin.

Begitu juga dengan studi yang dilakukan di Korea. Di sana, sebanyak lima belas remaja yang didiagnosis kecanduan internet dan remaja yang bukan pecandu dibandingkan. Hasilnya menunjukkan bahwa bagian orbitofrontal cortex dari otak pecandu berukuran lebih kecil dibandingkan yang bukan pecandu. Area orbitofrontal cortex merupakan area yang terlibat dalam proses risk taking. Pola ini sama dengan yang terlhat pada orang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif. Selain dua studi ini, banyak studi lain yang menunjukkan perbedaan secara neurobiologi di otak para pecandu internet dan yang tidak mengalami kecanduan.

Tanda dan Gejala Kecanduan Digital

Hilarie Cash, Ph.D, salah satu pendiri program reSTART (suatu rehabilitasi khusus untuk kecanduan internet dan game) mengemukakan bahwa tanda dan gejala dari kecanduan internet, yaitu :

  • Peningkatan jumlah waktu yang dihabiskan untuk berinternet;
  • Gagal ketika mencoba mengontrol perilaku menggunakan internet;
  • Merasakan sensasi euforia yang meningkat ketika beraktivitas dengan internet atau komputer;
  • Craving (keinginan yang kuat) untuk lebih banyak beraktivitas dengan komputer dan internet;
  • Mengabaikan teman-teman / sahabat dan keluarga;
  • Merasa gelisah ketika tidak melakukan aktivitas dengan internet atau komputer.
  • Berbohong atau tidak jujur kepada orang lain;
  • Penggunaan internet/komputer berpengaruh pada performa di tempat kerja/sekolah;
  • Perubahan pola tidur;
  • Perubahan fisik, seperti peningkatan atau penurunan berat badan, sakit punggung, sakit kepala, atau mengalami carpal tunnel syndrome; dan
  • Tidak mau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan.

Jika kita mengalami 3-4 gejala tersebut, maka dapat disebutkan bahwa kita mengalami penyalahgunaan internet/komputer. Jika mengalami lima atau lebih gejala, hal itu bisa disebut sebagai kecanduan.

Mengatasi Kecanduan Digital

Terapi kecanduan digital tentu merupakan suatu tantangan sebagaimana mengatasi kecanduan narkoba. Terlebih, perangkat-perangkat digital yang sangat mudah untuk diakses dibandingkan narkoba yang lebih tersembunyi. Dr.David Greenfield, pendiri dari Center for Internet and Technology Addiction, mengatakan bahwa secara statistik, hanya 10% orang yang benar-benar menjadi seorang pecandu internet. Hal-hal yang bisa dilakukan pada prinsipnya sama dengan terapi pada pecandu narkoba, yaitu melakukan digital detox, kemudian melakukan identifikasi mengenai faktor-faktor pencetus dan penyebab relaps, membangun strategi untuk memonitor penggunaan, dan (jika diperlukan) melakukan farmako terapi.

Selain melakukan hal-hal di atas, ada lagi yang dapat dilakukan terutama oleh orang tua. Peran orang tua dalam memonitor aktivitas anak-anaknya, membangun komunikasi yang baik dan efisien sehingga tercipta hubungan yang hangat, serta mengedukasi anak mengenai cara menggunakan perangkat digital secara bijak adalah kunci agar mereka tidak mengalami kecanduan.

Bagaimanapun, kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Efek samping akibat kemajuan ini pun sangat mungkin terjadi. Terakhir, marilah kita ingat kata-kata Dr.David Greenfield, “Digital Media is empty calories. We have to create a digital diet."


Bermain Game

Anak-anak zaman sekarang tak asing lagi dengan gadget dan teknologi. Marc Prensky—pakar pendidikan lulusan Universitas Harvard dan Yale dari Amerika, yang juga penulis buku Digital Game-Based Learning, menyebut anak-anak berusia 14 tahun ke bawah sebagai ”digital natives”—alias ”penduduk asli” yang menghuni dunia digital ini.

Tinggal sebut saja, entah itu komputer PC, komputer tablet, play station, sampai beraneka jenis smartphone yang dimiliki orangtua di rumah, pasti sudah ”khatam” diutak-atik oleh si praremaja. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menjajal beraneka macam game seru yang tersedia online, baik yang bisa diunduh gratis maupun yang berbayar?

Hanya, menurut penelitian yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics—yang antara lain dilakukan di Seattle Children’s Research Institute (2011), Iowa State University (2010), dan Stanford University School of Medicine (2009), kebanyakan main game bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak, antara lain berupa:

  • Masalah sosialisasi. Berhubung lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan mesin (bukan manusia), si praremaja bisa merasa canggung dan kurang nyaman kala datang kesempatan untuk bergaul dengan temannya.
  • Masalah komunikasi. Kegiatan berkomunikasi bukan sebatas berbicara dan mendengarkan kalimat yang terucap, tetapi juga membaca ekspresi lawan bicara. Anak yang kurang sering bersosialisasi biasanya kesulitan melakukan hal ini.
  • Mengikis empati. Seringkali anak menyukai jenis game yang melibatkan kekerasan, seperti perang-perangan, martial art, dan sebagainya. Efek samping dari memainkan jenis game ini adalah terpicunya agresivitas anak dan terkikisnya empati si kecil terhadap orang lain.
  • Gangguan motorik. Tubuh yang kurang aktif bergerak akan mengurangi kesempatan anak untuk melatih kemampuan motoriknya. Risikonya, anak bisa terserang obesitas dan pertumbuhan tinggi badannya tidak maksimal.
  • Gangguan kesehatan. Menatap layar video games secara konstan dalam waktu lama bisa mencetus serangan sakit kepala, nyeri leher, gangguan tidur, dan gangguan penglihatan.

Di Korea para pencandu internet direhabilitasi dengan cara dimasukkan ke dalam kamp mirip seperti di pelatihan militer untuk menyembuhkannya. Lebih dari 70 persen dari 110 peserta yang ikut adalah pecandu internet khususnya game online.



Homeschooling

Homeschool, atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Paham ini mungkin terlihat sedikit nyeleneh karena sementara semua orang menyekolahkan anaknya di sekolah umum, kok ada ya orang yang menyekolahkan anaknya di rumah. Bukankah itu sama saja dengan tidak sekolah. Pemikirin seperti ini terjadi karena ada sebuah proses ahistoris (terpotong dari sejarah) yang melupakan bahwa dulu sekolah memang di mulai dari rumah. Baru kemudian setelah guru menjadi sebuah profesi tertentu sekolah mulai berpindah ke sebuah gedung yang dinamai sekolah.

Sekarang, homeschooling mengalami comeback terutama di Amerika Serikat. Perubahan ini terjadi karena dunia pendidikan juga mengalami perubahan dalam abad terakhir ini, yaitu semakin sentralnya lembaga pendidikan di tangan negara. Homeschool adalah sebuah reaksi atas perubahan itu.

Pertimbangan Homeschooling 

Pertimbangan Homeschooling adalah:

  • HomeSchooling adalah model pendidikan alternatif. Kita memiliki kesempatan untuk melihat berbagai proses pendidikan dari sudut pandang yang berbeda dengan sekolah. Karena kita menjalani model pendidikan alternatif, salah satu hal penting yang harus kita siapkan adalah mental karena kita akan menjadi perintis yang berbeda dari mayoritas, yang pertama kali di masyarakat, di keluarga besar, di kota kita, dan lain-lain. Butuh sebuah ketahanan mental karena kita membuat sebuah pilihan yang benar, serius, dan berdampak pada keluarga dan anak kita. Bukan sekedar ikut tren, gaya, tapi sebuah pilihan sadar.
  • HomeSchooling adalah pendidikan berbasis keluarga. Bukan lembaga, tempat kursus, bimbingan belajar. Bagaimana sebuah pendidikan bisa diterapkan oleh keluarga tanpa kehilangan esensinya dan tetap berkualitas.
  • Standar/model HomeSchooling tergantung tiap keluarga. Karena setiap keluarga unik, berbeda, pengalaman, beragam latar belakang sosial, latar belakang pendidikan, sehingga tidak ada sebuah standar yang berlaku di dalam HomeSchooling. Model HomeSchooling beragam, tergantung desain yang dibuat oleh keluarga.



Belajar Code Mengubah Konsumtif menjadi Produktif

Sewaktu mendengar kata pemrograman, programmer, kode komputer, alur program dan sejenisnya, apa yang terbayang di benak Anda? Orang pintar? Orang yang berpengalaman di dunia komputer? Ahli komputer yang mengutak-atik komputer selama puluhan tahun? Bahasa mesin yang sulit ditulis? Pada umumnya, orang memberikan "label" bahwa programming adalah sesuatu yang luar biasa sulit dan mustahil dipelajari atau dimengerti oleh mereka yang menggunakan komputer, terlebih lagi tidak mungkin dapat dipahami oleh anak-anak.

Beberapa orang bahkan berdebat tentang pentingnya mengajar anak-anak cara menggunakan komputer, seperti cara menyalakan komputer, menggunakan aplikasi, melakukan pencarian di situs web dan sebagainya. Menurut mereka, ketrampilan-ketrampilan hanya dibutuhkan oleh para mahasiswa untuk meraih kesuksesan dan prospek mencari pekerjaan di masa depan.

Akan tetapi dibalik perdebatan tentang menggunakan internet dan mengoperasikan komputer, beberapa praktisi berpendapat bahwa penting untuk memperkenalkan sedini mungkin dan mengajarkan bukan hanya cara menggunakan komputer, tetapi juga cara membuat dan menulis kode-kode komputer, alias memrogram komputer, bahkan ke anak-anak.

Mengapa penting memperkenalkan anak-anak bahasa pemrograman dari usia sangat muda? Memperkenalkan pemrograman sedini mungkin membuat anak-anak dapat membayangkan apa yang terjadi di dalam komputer dan cara komputer yang saling terhubung (online) dapat berkomunikasi satu sama lain. Pengetahuan tentang pemrograman, bahkan pada tingkat dasar, membuat teknologi lebih mudah dikelola karena dianggap bukanlah sesuatu magis atau gaib.


Generasi Z

Coba perhatikan anak-anak Anda yang kini menjelang usia remaja. Di tangan mereka pasti ada smartphone , di telinga mereka terselip headset, dan jari mereka tak pernah lepas dari keypad smartphone. Mereka yang disebut sebagai generasi Z (Gen Z) ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1994 sampai tahun 2009. Gen Z adalah anak-anak atau orang yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi. Artinya, teknologi sudah menjadi bagian dari hidup mereka sejak mereka lahir ke dunia. Jadi, jangan heran jika anak-anak dari Gen Z sangat mahir menggunakan teknologi apa pun.

Dalam teori generasi (Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y, lahir 1981-1994. Generasi  Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Generasi Z (disebut juga iGeneration,  Generasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y.

Generasi ZMereka lahir dan dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadi booming Generasi Z  sekitar tahun 2020.

Nah, dunia kita sekarang ini berada di tangan mereka, Gen Z. Generasi ini mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas sekolah, berkomunikasi dengan teman, semuanya melalui media internet. Entah Google, Wikipedia, Facebook, Twitter, dan sebagainya. “Nge-tweet  dengan smartphone , sambil sibuk browsing dengan PC tablet , di kupingnya (memakai, Red.) headset  dengerin musik,” kata Elly.

Artinya, mereka adalah anak-anak yang luar biasa, multitasking , instan, penuh tantangan, dan bisa mengatasi tantangan itu. Buat mereka, everything is interesting and fun  atau semua hal menarik dan menyenangkan. Inilah yang membuat mereka betah berlama-lama di dunia maya itu. Sementara di dunia nyata, acapkali mereka berhadapan dengan dunia yang penuh omelan, marah-marah, cap, labeling , membanding-bandingkan, dan sebagainya. Jadi, pola pengasuhan dan pola pembelajaran anak-anak Gen Z ini seharusnya juga berubah. Alias tidak lagi meniru pola pengasuhan generasi sebelumnya.



Generasi Millenial

Generasi millenial adalah istilah yang digunakan untuk menyebut generasi yang lahir pada periode 1982-an hingga awal tahun 2000-an. Generasi millienial atau yang juga dikenal dengan istilah generasi Y  ini bertumbuh menjadi para pengguna #teknologi modern berkat dukungan dari perkembangan teknologi yang semakin pesat.

Ketika generasi millenial yang modern mulai berbaur di lingkungan kerja, sebagian orang lain mungkin merasa kewalahan dengan perilaku generasi ini di tempat kerja. Mereka sering mengandalkan multitasking dan teknologi untuk mendukung pekerjaan. Bahkan tidak jarang generasi millenial terlibat bentrok dengan sesama rekan kerja.

Jika para pendahulu kita menekuni pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka lain halnya bagi generasi millenial. Disamping mengutamakan kebutuhan hidup, ada tantangan yang ingin dipenuhi secara sempurna ketika memasuki dunia kerja. Kita bisa memahami keinginan generasi millenial yang haus akan tantangan agar mereka bisa ditempatkan pada posisi yang sesuai.

Kepandaian dan dedikasi yang dimiliki oleh generasi millenial akan semakin terasah bila kita mampu memberikan tantangan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. D samping itu, generasi millenial tidak akan segan memberikan dedikasi mereka kepada bisnis yang mereka anggap mampu menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi secara terbuka.



Digital Immigrant VS Digital Native

Zaman sekarang adalah era informasi, dan era informasi ini adalah era terevolusinya segala hal. Kita bisa melihat evolusi politik dari sistem konvensional menuju digital. Sudahkan Anda tahu, bedanya generasi digital immigrant dan digital native?

Digital Native adalah generasi yang lahir di masa ketika perkembangan teknologi digital berlangsung. Ciri-ciri generasi ini adalah tidak kikuk dan mudahnya mengoperasikan aneka gadget masa kini walau baru pertama kali menggunakannya, lebih melek media, suka berkelompok sosial di dunia maya, dan suka meng-update informasi tentang gadget maupun meng-upgrade gadget yang dimiliki. Generasi angkatan lahir tahun 1994 masih termasuk

Sedangkan Digital Immigrant adalah generasi yang pernah hidup di masa ketika teknologi belum berkembang lalu kemudian mengikuti masa perkembangannya hingga sekarang. Umumnya mereka perlu belajar terlebih dahulu dan tidak selalu mudah mempelajari perkembangan gadget-gadget masa kini. Ciri-ciri umum lainnya adalah lebih mengutamakan fungsi dasar, misalnya ponsel hanya untuk bertelefon dan sms sedangkan fitur lain tidak terlalu dioptimalisasikan meski ponsel tersebut ponsel pintar, sebagian besar perlu adaptasi lebih dari sehari dalam menggunakan gadget baru, belum melek media, tidak terlalu peduli dunia maya, dan Digital Nativer adalah salah satu pemandu mereka dalam belajar gadget. Angkatan lahir orangtua saya dan orangtua mereka jelas termasuk Digital Immigrant.
Digital native adalah kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet atau yang saat ini berada di bawah 24 tahun.

Para generasi digital native cenderung lebih terbuka, blak-blakan, dan open minded. Jika mereka bilang suka, mereka bilang suka, dan jika tidak suka, mereka akan bilang tidak suka. Mereka juga merasa tidak masalah "membuka" apa yang disebut oleh generasi sebelum mereka sebagai privasi. Lahir pada jaman digital, setelah 1990an.

Maksudnya membuka privasi apa? Maksudnya adalah, mereka malah berlomba-lomba membuka kehidupan privasi mereka di status Facebook dengan menulis "@ mall X bareng temen", "sedih banget karena baru putus", "mau tidur", dan lain-lain. Generasi digital native gila kebebasan. Mereka tidak suka diatur dan dikekang.

Pada generasi ini, jika generasi  tidak suka suatu website, mereka bisa menutupnya saat itu juga. Mereka juga bebas untuk menolak atau menerima permintaan pertemanan di Facebook. Sebaliknya, jika mereka mendukung sesuatu, mereka akan berbondong-bondong mendukungnya dengan fanatik. Beberapa gerakan kepedulian ini dan itu sukses karena adanya generasi ini.

Generasi digital native mempunyai proses belajar yang sangat berbeda dibanding generasi digital immigrant. Generasi digital native  "jengah" ketika disuruh membaca Encyclopedia Brittanica, tapi toh mereka tahu banyak hal. Hal ini bisa terjadi karena mereka selalu berpacaran dengan "Google" dan search engine lain.

Kemampuan belajar mereka jauh lebih cepat karena segala informasi ada di ujung jari mereka. Digital native, suka berbagi notes Facebook, link bermutu di Twitter, ataupun video inspiratif di Youtube.


Kamis, 27 Oktober 2016

Kecakapan Berpikir

Pada suatu kesempatan, dalam sebuah penerbangan, pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Dr. Tony Wagner duduk di samping rekayasawan Clay Parker yang memimpin divisi kimia di sebuah perusahaan multinasional dan berbincang-bincang.

Dalam kesempatan itu, perbincangan sampai pada kecakapan untuk hidup di dunia modern ini. Dr. Wagner bertanya kecakapan utama apa yang Tuan Parker paling cari pada pelamar kerja yang baru lulus dari universitas. Tuan Parker menjawab, “Pertama dan yang utama, saya mencari lulusan yang mampu membuat pertanyaan bagus.” Ini mengejutkan Dr. Wagner, karena tadinya ia berpikir jawabannya akan berkisar kecakapan praktis dan terkait langsung dengan pengetahuan teknisnya, yakni kimia rekayasa.

Sepanjang sejarah, kecakapan bertanya selalu merupakan kunci pembangunan peradaban manusia. Khususnya, pengetahuan ilmiah, teknologi, bahkan seni dan filsafat dapat berkembang terus sampai detik ini karena keberaniannya bertanya dan sikap tak mudah puas dengan jawaban.

Di dunia abad 21 dengan kehidupannya yang tiap detik lahir permasalahan baru sekaligus kompleks seperti sekarang, kemampuan menyelesaikan masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya menjadi semakin dibutuhkan manusia. Penyakit atau virus jenis baru yang belum pernah ada risetnya harus dihadapi kedokteran di masa sekarang. Permasalahan yang diakibatkan pemanasan global merupakan permasalahan yang benar-benar baru bagi manusia. Akibatnya kecakapan merumuskan pertanyaan guna menyelesaikan masalah kompleks menjadi semakin dibutuhkan, sepenting solusinya.

Coba kita renungkan video di bawah ini



Menurut World Economic Forum (WEF), ada 16 keterampilan penting yang diperlukan di abad 21. Keterampilan itu terbagi dalam 3 kategori, yaitu literasi dasar (foundational literacies), kompetensi (competencies), dan kualitas karakter (character qualities).

Literasi dasar berkaitan dengan kemampuan anak mengaplikasikan keterampilan ini pada kegiatan keseharian. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan anak menyelesaikan tantangan kompleks. Sementara kualitas karakter berkaitan dengan kemampuan anak menyikapi perubahan lingkungannya.