Saat kemajuan teknologi begitu pesat dalam perkembangannya, interaksi antarmanusia pun mengalami perubahan signifikan. Saat ini, jarang sekali kita dengar orang-orang yang saling berbalas surat untuk saling bertegur sapa, mengirimkan kartu ucapan, atau telegram indah pada masa-masa semacam hari raya. Banyak yang lebih menyukai bertegur sapa melalui media sosial, entah Facebook, Path, Twitter, ataupun komunikasi online semisal Whatsapp, Blackberry Messanger, LINE, Telegram, dan lain-lain. Lebih simpel dan murah, begitu alasannya. Pun dengan aplikasi-aplikasi belanja yang semakin menjamur. Tak perlu lagi kita repot-repot untuk berpeluh di pasar, atau jauh-jauh ke Glodok, Roxy, untuk sekedar mencari barang-barang elektronik, semua tersedia, tinggal klik, bayar, dan barang pun sampai rumah.
Tak dipungkiri, kemajuan teknologi ini membawa berbagai dampak yang positif. Dampak-dampak itu di antaranya adalah semangat wirausaha secara online, menjalin komunikasi dengan sanak-saudara yang jarang ditemui karena faktor jarak yang jauh, dan lain sebagainya. Di samping itu, banyak hal-hal yang patut untuk diwaspadai terkait era digital ini sebagaimana hal lain di dunia yang selalu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Efek samping atau dampak negatif yang mengintai antara lain adalah kecanduan. Ya, kecanduan! Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan berita mengenai aplikasi suara yang katanya adalah narkoba, berbahaya, bikin nyandu, dan seabrek berita lainnya.
Ketika kita berbicara mengenai kecanduan di era digital, kita tak hanya berbicara mengenai digital drugs seperti berita yang heboh tadi. Lebih luas lagi, kecanduan di era ini meliputi kecanduan game, kecanduan pornografi, kecanduan judi, kecanduan belanja, kecanduan kencan online, yang terangkum dalam satu bentuk kecanduan: kecanduan internet. Hal-hal ini kemudian semakin terfasilitasi dengan perangkat-perangkat digital yang semakin mudah diakses, smartphone, tablet, dan laptop.
Berdasarkan data dari Young’s Center for Internet Addiction, satu dari delapan orang Amerika mengalami masalah penggunaan internet. Di Tiongkok, Taiwan, dan Korea, angka tersebut lebih tinggi, yaitu 30% dari populasi. Para remaja dan dewasa muda di bawah 25 tahun merupakan kelompok yang rentan mengalami hal ini, disebabkan dunia digital merupakan dari budaya generasi mereka saat ini.
Survei nasional yang dilakukan oleh Center for Internet Addicition di Amerika juga menemukan fakta bahwa penderita kecanduan internet juga mengalami komorbiditas dengan gangguan lain. Sebanyak 70% pecandu internet juga mengalami kecanduan narkoba, alkohol, rokok, dan seks. Sementara itu, mayoritas pecandu internet juga mengalami gangguan emosional seperti depresi, gangguan mood, gangguan secara sosial, dan gangguan cemas.
Aspek Neurobiologi Kecanduan Digital
Meskipun internet addiction belum tercantum dalam DSM–5 sebagai sebuah gangguan (di dalam DSM–5, appendiksnya hanya mencantumkan internet gaming disorder sebagai sebuah gangguan yang memerlukan penelitian lebih lanjut), para ahli nampaknya mulai menyadari urgensi meneliti fenomena kecanduan digital. Fenomena yang dimaksud khususnya adalah kecanduan akan internet dan game yang terjadi terutama pada usia remaja dan dewasa muda.
Frances E. Jensen, MD, seorang profesor neurologi dari Departemen Neurologi, Perelman School of Medicine, Universitas Pennsylvania, USA, menulis dalam bukunya, “The Teenage Brain”, mengenai fenomena invasi digital pada remaja. Jensen mengatakan bahwa kompulsivitas untuk selalu terkoneksi secara digital terjadi dalam dua level, yaitu perilaku dan biokimia. Setiap bunyi, ping, atau getar dari smartphone merupakan momen “Oh, Wow” di dalam otak. Selanjutnya, setiap pesan maupun pating baru di media sosial yang dibuka dan dibaca digambarkan sebagai “digital gift” yang memicu pengeluaran dopamine secara cepat di otak.
Hal di atas tentu saja serupa dengan proses pada kecanduan narkoba. Studi dengan fMRI (functional MRI) pada pecandu internet menemukan pola yang sama dengan pola-pola pecandu narkoba. Begitu juga dengan sebuah studi di Tiongkok pada tahun 2012 yang membandingkan hasil scanning otak dengan fMRI antara 17 remaja yang memenuhi kriteria kecanduan game dengan 24 remaja yang tidak mengalami kecanduan game dengan jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan yang sama. Studi tersebut menemukan bahwa remaja dengan kecanduan game mempunyai skor Risk Taking Test yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak kecanduan game. Melalui fMRI, terlihat bahwa remaja yang mengalami kecanduan mempunyai lebih sedikit konektivitas pada lobus frontal-nya dan mempunyai konektivitas yang lebih banyak pada area yang sama dengan pecandu nikotin.
Begitu juga dengan studi yang dilakukan di Korea. Di sana, sebanyak lima belas remaja yang didiagnosis kecanduan internet dan remaja yang bukan pecandu dibandingkan. Hasilnya menunjukkan bahwa bagian orbitofrontal cortex dari otak pecandu berukuran lebih kecil dibandingkan yang bukan pecandu. Area orbitofrontal cortex merupakan area yang terlibat dalam proses risk taking. Pola ini sama dengan yang terlhat pada orang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif. Selain dua studi ini, banyak studi lain yang menunjukkan perbedaan secara neurobiologi di otak para pecandu internet dan yang tidak mengalami kecanduan.
Tanda dan Gejala Kecanduan Digital
Hilarie Cash, Ph.D, salah satu pendiri program reSTART (suatu rehabilitasi khusus untuk kecanduan internet dan game) mengemukakan bahwa tanda dan gejala dari kecanduan internet, yaitu :
- Peningkatan jumlah waktu yang dihabiskan untuk berinternet;
- Gagal ketika mencoba mengontrol perilaku menggunakan internet;
- Merasakan sensasi euforia yang meningkat ketika beraktivitas dengan internet atau komputer;
- Craving (keinginan yang kuat) untuk lebih banyak beraktivitas dengan komputer dan internet;
- Mengabaikan teman-teman / sahabat dan keluarga;
- Merasa gelisah ketika tidak melakukan aktivitas dengan internet atau komputer.
- Berbohong atau tidak jujur kepada orang lain;
- Penggunaan internet/komputer berpengaruh pada performa di tempat kerja/sekolah;
- Perubahan pola tidur;
- Perubahan fisik, seperti peningkatan atau penurunan berat badan, sakit punggung, sakit kepala, atau mengalami carpal tunnel syndrome; dan
- Tidak mau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan.
Jika kita mengalami 3-4 gejala tersebut, maka dapat disebutkan bahwa kita mengalami penyalahgunaan internet/komputer. Jika mengalami lima atau lebih gejala, hal itu bisa disebut sebagai kecanduan.
Mengatasi Kecanduan Digital
Terapi kecanduan digital tentu merupakan suatu tantangan sebagaimana mengatasi kecanduan narkoba. Terlebih, perangkat-perangkat digital yang sangat mudah untuk diakses dibandingkan narkoba yang lebih tersembunyi. Dr.David Greenfield, pendiri dari Center for Internet and Technology Addiction, mengatakan bahwa secara statistik, hanya 10% orang yang benar-benar menjadi seorang pecandu internet. Hal-hal yang bisa dilakukan pada prinsipnya sama dengan terapi pada pecandu narkoba, yaitu melakukan digital detox, kemudian melakukan identifikasi mengenai faktor-faktor pencetus dan penyebab relaps, membangun strategi untuk memonitor penggunaan, dan (jika diperlukan) melakukan farmako terapi.
Selain melakukan hal-hal di atas, ada lagi yang dapat dilakukan terutama oleh orang tua. Peran orang tua dalam memonitor aktivitas anak-anaknya, membangun komunikasi yang baik dan efisien sehingga tercipta hubungan yang hangat, serta mengedukasi anak mengenai cara menggunakan perangkat digital secara bijak adalah kunci agar mereka tidak mengalami kecanduan.
Bagaimanapun, kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Efek samping akibat kemajuan ini pun sangat mungkin terjadi. Terakhir, marilah kita ingat kata-kata Dr.David Greenfield, “Digital Media is empty calories. We have to create a digital diet."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar